Taujihat MUI Tentang Shalat Jum’at Di Era Tatanan Kehidupan Baru
Taujihat Majelis Ulama Indonesia Tentang Shalat Jum’at Di Era Tatanan Kehidupan Baru (New Normal Life)
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Majelis Ulama Indonesia setelah melakukan kajian secara mendalam terkait pertanyaan dari masyarakat dalam pelaksanaan shalat Jum’at di era kehidupan normal baru (new normal life) yang diharuskan adanya jaga jarak fisik (physical distancing), sehingga mengurangi kapasitas dan daya tampung masjid sebagai tempat shalat Jum’at. Atas permasalahan tersebut muncul gagasan untuk melaksanakan shalat Jum’at lebih dari sekali dalam satu masjid, agar bisa mengakomodasi jama’ah yang akan melaksanakan shalat Jum’at. Terkait hal itu, Dewan Pimpinan MUI menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 2000 yang dihadiri oleh Pimpinan MUI seluruh Indonesia telah menetapkan Fatwa Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Shalat Jum’at Dua Gelombang, yang diantara isinya sbb:
a. Pelaksanaan shalat Jum’at dua gelombang (lebih dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, walaupun terdapat ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan secara hukum).
b. Orang Islam yang tidak dapat melaksanakan shalat Jum’at disebabkan suatu
‘uzur syar’i hanya diwajibkan melaksanakan shalat Zuhur.
- MUI berketetapan bahwa Fatwa tersebut masih relevan dan paling membawa mashlahat untuk menjawab permasalahan yang muncul saat ini, dengan alasan sebagai berikut:
a. Pilihan Fatwa tersebut mempunyai pijakan dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat untuk konteks situasi dan kondisi di Indonesia dan merupakan pendapat ulama empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah);
b. Hukum asal dari shalat Jum’at adalah sekali saja dan hanya dilakukan di satu masjid di setiap kawasan serta dilakukan dengan segera tanpa menunda waktu. Dalam kondisi dharurah atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), misalnya jauhnya jarak antara tempat penduduk dan masjid atau tidak menampungnya kapasitas masjid karena kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka dalam kondisi seperti itu dibolehkan mengadakan shalat Jum’at di lebih dari satu masjid.
c. Para ulama dari zaman ke zaman tidak memilih opsi shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di tempat yang sama, padahal mereka sudah membolehkan shalat Jum’at di lebih dari satu masjid (ta’addud al-Jum’ah) di satu kawasan, bila keadaan menuntut seperti yg telah diuraikan di atas.
- Adapun pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di satu tempat tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia, dengan alasan berikut:
a. Pendapat tersebut didasarkan pada dalil syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lemah dan menyelisihi pendapat mayoritas (jumhur) ulama.
b. Alasan yang dijadikan dasar kebolehan tersebut adalah berlakunya hal itu di negara-negara dimana umat Islam minoritas, misalnya di Eropa, Amerika, Australia, dsb. Hal itu tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan bolehnya hal yang sama di Indonesia, karena situasi dan kondisinya berbeda. Di negara- negara tersebut umat Islam merupakan minoritas dan sangat sulit mendapatkan izin tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at, serta tempat yang ada tidak bisa menampung jumlah jama’ah, sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka selain mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di tempat yang sama. Kondisi tersebut terkategori sebagai kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah) yang membolehkan hal itu dilakukan. Hal seperti itu tidak terjadi di Indonesia, karena umat Islam mempunyai kebebasan untuk mendirikan shalat Jum’at di tempat manapun yang memungkinkan didirikan shalat Jum’at.
c. Shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di satu tempat tidak tepat menjadi solusi dalam kondisi kehidupan normal baru (new normal life), karena bisa menimbulkan kerepotan luar biasa (masyaqqah) bahkan bisa menimbulkan bahaya secara medis. Misalnya untuk menunggu giliran shalat Jum’at gelombang berikutnya tidak ada tempat yang aman dan memadai untuk menunggu sehingga justru berpeluang terjadinya kerumunan yang bertentangan dengan protokol kesehatan.
- MUI berpandangan bahwa solusi untuk situasi saat ini ketika masjid tidak bisa menampung jamaah shalat Jum’at karena adanya jarak fisik (physical distancing) adalah bukan dengan mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di satu tempat, tapi dibukanya kesempatan mendirikan shalat Jum’at di tempat lain, seperti mushalla, aula, gedung olahraga, stadion, dan sebagainya.
Karena hal itu mempunyai dasar argument syari’ah (hujjah syar’iyah) yang lebih kuat dan lebih membawa kemaslahatan bagi umat Islam. - Bagi jama’ah yang datang terlambat dan tidak dapat tempat di masjid serta tidak menemukan tempat salat Jum’at yang lain, atau dalam kondisi adanya alasan yang dibenarkan syari’ah (udzur syar’ie), maka wajib menggantinya dengan shalat Zuhur, sebagaimana disebutkan dalam Fatwa MUI di atas.
Demikian taujihat Majelis Ulama Indonesia agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dan Pemerintah dalam menyelenggarakan shalat Jum’at di era kehidupan baru (new normal life) pasca Pandemi Covid-19 dengan tetap terus menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
Wassalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakaatuh.
Jakarta, 11 Syawal 1441 H./3 Juni 2020 M.
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PUSAT
Sekretaris Jenderal
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.
Wakil Ketua Umum
KH. Muhyidin Junaidi, M.A.