MUI SultengTausiah

Puasa Dalam Perspektif Sufistik

Oleh: Dr. Rusdin, S.Ag., M.Fil.I.

Pengertian Puasa

Sebelum kita masuk pada tema di atas, lebih awal dipahami apa itu puasa?..pertanyaan ini tentu memerlukan kajian dari berbagai literature, meskipun istilah ini sering kita dakwahan apa lagi dibulan ramadahn tentu tidak asing kita dengar, namun secara ilmiah memerlukan literature untuk menjelaskan. Seperti disebutkan dalam Ensiklopedi Pengetahuan, bahwa puasa menurut bahasa berasal dari kata “shiyam, adalah bentuk masdhar dari kata shama, yashumu dalam bahasa Arab artinya  amsaka atau menahan”. Shaum atau shyam berarti bersikap pasif atau mencegah diri dari sesuatu (Ensiklopedi 375:2013).  Sedangkan menurut syara’puasa berati menahan dengan disertai niat dari segala sesuatu yang telah ditentukan, artinya menjaga diri dari segala sesuatu yang bisa merusak puasa atau mengurangi pahala puasa atau bahkan membatalkannya. Imam Syafii dalam Kitab Al-Umm, mengatakan bahawa puasa adalah menahan (Al-Umm, 411: 2000), menahan menurut ahli tasawuf adalah hawanafsu dari bebagai kehidupan seperti menahan makan dan minum disang hari, menahan pandangan mata, menahan perkataan yang tidak bermanfaat dan menahan tidak melakukan hubungan suami istri disiang hari (Al-Luma’, 335-336:2009). Begituja dalam pandang ahli fiqh bahwa puasa adalah menahan dengan niat (Esiklopedi Muslim, 413:2000).

Berdasarkan pengertian tersebut sehingga mendorong orang melaksanakan puasa dengan bersunggu-sunggu, sebab di dalamnya terdapat berbagai kebaikan dan keberkahan. Menurut ahli tasawuf, bahwa puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu dari segala hal yang membuat manusia lalai, sebab nafsu merupakan sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa manusia. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan minum atau nafsu birahi saja, tetapi segala hal yang mendorong orang melakukan kejahatan. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa, dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan keji dan mungkar, dalam istilah tasawuf disebut dengan bertakhalli, atau mengosngkan diri dari perbuatan tercelah, kemudian tahalli menuju tajalli kepada Allah.

Pengertian Sufistik

Sufistik asal kata sufi orang yang menguasai ilmu tasawuf, dengan kesedrhanan dan memakai pakain putih dengan istilah shuf sebab antara keduanya ada hubungan atau  korelasi yakni jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup seorang sufi atau kebiasaan memakai wol kasar merupakan karakteristik kehidupan orang-orang shaleh sebelum datanya Islam atau sufi sebagai kepanaan diri” (Mystics of Islam,11:1914), atau orang yang memiliki aliran tasawuf sehingga digelar sufistis (KBB, 1347:2008), secara otomatis istilah tersebut melekat kepadanya. Dalam pengertian lain bahwa Seorang yang ahli dalam ilmu tersebut memilki keagungan tersendiri dikalangan pengikutnya. Meskipun demikian makna tersebut tidak bisa dipisahkan dengan istilah sufi atau seorang asketis hidup dalam ksederhanan (Rivay Siregar, 31:2000). Dengan demikian sufistis adalah cara dan jalan bagaimana seseorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah (Harun Nasutiona, 1989), yang mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan penuh dengan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplase ,(Ittihad)  atau menyatu dengan Tuhan (Harun Nasutiona, 1989:56), sehingga yang lahir adalah moral, dan jiwa yang bening.

Sufistik dibalik Ibadah Puasa

Perlu di ketahui bahwa manusi terdapat dua dimensi yakni dimensi ruhani dan dimensi jsamani, dimensi jasmani berarti hal-hal yang nampak dengan kata lain berbentuk materi sementara dimensi ruhani adalah hal yang bersifat metafisika, karena manusia adalah makhluk somatofsiko-sosial (psikologi sufi,16:2011), artinya manusia memiliki kepedulian social yang berperasaan serta pekah dan peduli. Secara sufistik oarng yang memiliki jiwa yang demikian cepat tersentu dan dengan muda memahami bahwa dirinya bagian dari sifat-sifat Tuhan yang tidak terpisahkan, sehingga yang dipanggil melaksanakan puasa adalah mereka yang miliki rasa (syauq), secara teologi memiliki iman berjiwa suci, tawaddu dan istiqoamah, sebagaimana يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Keimanan dan ketqwaan adalah rangkaian jiwa yang dalam hanya bisa dirasakan ketika manusia memahami bahwa dirinya bersama dengan Allah (zikrullah), ahli tasawuf meyakini orang yang berpuasa adalah orang bersunggu-sungguh dengan sepenu hati, dan sepenuh jiwa, patuh dan terkoneksi selalu kepada Allah Swt, itulah sebabnya puasa menjadi rahasia bagi manusia dijelaskan dalam hadis kudis “Puasa itu untukku akulah yang memberikan pahala (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu), kerahasiaan puasa dalam konteks sufistis hanya bisa dibaca lewat kejernihan hati, sehingga orang-orang yang beriman dan berhati bersih pasti merasakan kebahagiaan ketika ia menjalankan ibadah puasa, sebab dihatinya selalu terjadi komunikasi secara terus menerus antara diriny dengan Allah Swt, dengan demikian akan melahirkan sikap kerinduan (syauq), jujur. (Al-Luma’ :132:2009), ketika orang mendapatkan kerinduan dalam ibadah termasuk puasa maka ia selalu meneteskan air mata bahkan tidak lagi memperdulikan bahwa dirinya membutuhkan makan dan minum dan merasa kenyang sepanjang waktu.  Kondisi demikian hanya tertuju kepada orang-orang tertentu dalam tingkatan puasa, mungkin inilah yang digambarkan imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin ada tiga kategori orang berpuasa pertama orang awam (umum), kedua orang khusus dan ketiga khusus bin khusus. Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa yang dimaksud khusus bin khusus adalah para Aulia, Waliullah dan orang-orang Alim.  Orang yang demikian hanya berada pada tingkatan sufistik yang tinggi, sehingga kebutuhan materi dalam tubuhnya tidak lagi dirasakan.  Meskipun dari sisi lain bahwa puasa merupakan proses menyucian batin sehingga tidak menjadi orang yang serakah, sombong dan mampu mengendalikan nafsu, karena salah satu tujuan berpusa adalah mengendali hawanafsu.  Ahli tasawuf melihat bahwa ketika manusia suda berda pada kondisi “syauq dan alhulul” maka hal yang demikian tidak lagi menjadi penghalang baginya mencapai tingkat, Shiddiqqiin, dan Muqarrabin, sebagai kemuliaan yang diberikan Allah Swt.

Capaian Puasa di kalangan kaum sufi

Dalam dunia sufistik, sebagaiman dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah jiwa dan hati seorang hambah yang shaleh, senantiasa bertasyakkur dan beribadah kepada Allah meskipun dalam kondisi lapar tidak makan dan tidak minum. Namun di balik semua itu ahli tasawuf ingin mencapai kemuliaan, adapaun kemuliaan dimkasud adalah:

  1. Mahabbah fillah

Cinta kepada Allah, atau prilaku emosional terhadap Allah Swt, bahwa apa yang menjadi perintahnya akan diwujudkan sesuai syariat, sementara Alqusyairi menjelaskan adapun mahabbah (cinta) seorang hambah kepada Allah adalah suatu keadaan dimana sihamba mendapatkan/merasakan cinta itu dari hatinya suatu peranan yang amat halus, sulit digambarkan (Aqis Bil Qisthi,85:2004), begitu juga Rabiatul Adawiyah bahwa cinta adalah tertutupnya rasa benci terhdap makhluk lain (Ajaran Para Sufi, 46:1996) dengan demikian mahabbah adalah cinta seorang sufi yang telah menjalani perintah Allah Swt, sehingga melakukan ibdah semata-mata karena adanya rasa cinta. Dalam sebuah hadis qudsi, “barangsiapa mencintai-KU dimalam-malam ramdahan maka Aku mencintainya, barang siapa bertobat kepada-Ku dimalam-malam ramadhan maka aku mengampuninya dan barang siapa meminta kepada-Ku malam ramadhan makan aku membrinyakuperintahkan kepada Malikat Kiraman Katibiin mencatat segala kebaikan dan tidak mencatat segalah kejahataanya dan diampunkan dosa-dosanya yang lalu (Syarah Hadis Qudsi)

2. Ma’rifatullah

Dari segi bahasa adalah pengetahuan yang telah didasarkan atas suatu keyakinan penuh terhadap segala sesuatu sehingga hilanglah keragu-raguan, kebenaran atau dalam istilah lain disebut dengan Al-Haq merupakan satu-satunya obyek yang ingin dicapai (Aqis Bil Qisthi,152:2004) Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ma’rifat adalah ilmu dan semua ilmu adalah ma’rifat dan semua “ma’rifat adalah ilmu  dan setiap orang yang mempunyai ilmu adalah alim (Qurish Shihab,390: 2000). alim atau berilmu yang dimaksud adalah tentang Allah Swt, sebagai rangkaian pengalaman yang dialami gambaraannya terhadap kebesaran Allah Swt. Pengetahuan para sufi tentang ma’rifat memiliki pandangan yang sama yakni bertujuan sedekat mungkin berada dalam diri Allah Swt. Al-Gazali menjelaskan ma’rifat adalah sebuah ilmunasi yang terpancar sebagai metode pengetahuan yang tinggi disebut para “arifin atau orang yang memperoleh ma’rifat dengan dasar pengetahuan yang tinggi, memiliki kalbu yang suci, prilaku dan budi pekerti yang tinggi dari segala sesuatu” atau disebut kondisi mental, kondisi mental dimaksud adalah sikap dan kebijakan seorang dalam merespon peroblematika kehidupan, tanpa pamri semata-mata karena Allah Swt.

3. Musyahadah

Adalah kesinambungan antara penglihatan hati dan penglihatan mata lahir, pengliatan hati adalah tersingkapnya keyakinan dan bertambahnya dugaan bahwa Allah ada adalam setiap eksistensi (Al-Luma’142:2009), hal ini diperkuat dalam Qs Qaf: 37 sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mmempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya, yang dimaksud adalah alam kegaiban.

4. Mujahadah

Dari segi bahasa adalah berasal dari kata jahada atau ijtihadah, yang mana dari kedua kata itu mempunyai persamaan arti yaitu berusaha keras atau sungguh-sungguh atau sesorang pelaku tasawuf dalam berusha untuk memcapai pada tingkat yang lebih tinggi dan harus disertai dengan mujahadah  yang sunggu-sungguh berusaha keras serta perjuangan yang sekuat tenaga (Aqis Bil Qisthi,198-199:2004), kata lain dari mujahadah adalah berusaha melawan hawa nafsu, sehingga seseorang yang berpuasa merupakan hal sungguh-sungguh tidak bermain-main, penuh keseriusan, itulah sebabnya Nabi mengatakan “berapa banyak orang melaksanakan puasa tapi tidak mersakan apa-apa kecuali lapar dan haus (Alhadis), sebab di dalmnya ada kesungguhan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kemuliaan atau ketaqwaan.

5. Mukasyafah

Seorang sufi yang bersungguh-sungguh berpusa serta menjalkan ibadah lainnya dibulan suci ramadahan maka secara langsung mendapatkan kemulian. Mencermati istilah mukasyafah adalah terbuka tirai,  maksudnya terbuka segalah rahasia kegaiban alam yang selama ini tersembunyi, karena itu  ilmu muksyafah, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi “bahwa sesungguhnya hanya hatilah satu-satunya yang sanggup untuk menampung Allah Swt (Aqis Bil Qisthi, 215:2004) itulah sebabnya selalu dituntut hati yang bersih, sebab di dalam hati tersimpan rahasia Ilahi, namun semua itu terhubung dengan jiwa yang suci yang sudah diproses dengan berpusa selama ramadahan, diatmba dengan amalan lain. Sehinggi diakhir ramadahan akan lahir kesucian yang disebut dengan fitrah, sebagai hakikat kesucian yang diberikan Allah Swt, kepada hambanya yang menjalankan puasa selama bulan ramadahan.

DAFTAR BACAAN

Aqis Bil Qisthi, Mu’min dan Muslim Dalam Tuju Tahapan, Meraih Sukses Dunia Akherat, Cet, I, Bintang Usaha  Jaya, Surabaya Tahun 2004

H.A.Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Cet III, Al-Husnah Zikra, Jakarta, 1999, h.6

M.Qurish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2, Lentera hati, Jakarta, 2000, h. 641-643

Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah; Induk Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah Gusti, 1997).

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani,  Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi’i Ustman (Bandung: Pustaka, 1985).

Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi; al-Ta’aruf li Madzahib Ahl Tasawuf (Bandung: Mizan, 1993).

Abu Nashr As-Sarraj,  Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf,diterjamahkan dari kitab Aslinya (Al-Luma’ Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi, Maktabah ats Tsaqafah ad-Diniyyah, Bursaid Kairo Mesir 2002

Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin (Bandung: Mizan 1997).

Ali ibn Ustman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Abdul Hadi W (Bandung: Mizan, 1992).

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).

Leonard Lewisohn (eds.), Warisan Sufi: Sufisme Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300) (Yogyakarta: Pustaka Sufi).

R. A. Nicholson, Mistik dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).

Rifa’i Siregar, Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Press, 2000).

Sayyid Husein Nasr, Tasawuf: Dulu dan Sekarang (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

H.M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada Jakrta, 1996

Martin Van Bruinssen, Urban Siufism,Rajwali Pres Divisi Buku Perguruan Tinggi PT, Raja Grafindo Persada 2008

Tamami HAG,  Psikologi Tasawuf,  Pustaka Setia Bandung,2011

DepdikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008

Tim syarah Hadis Qudsi,  Pusta Azzam Jakrta2003

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama Jakrta,2005

Imam Syafii, Al-Umm (Kitab Induk) Jilid 11, Victory Agencie Kuala Lumpur Malaysia 2000

Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedi Pengetahauan Al-Qur’an dan Hadis Jilid 2, Kamil; Pustaka jakrta 2013

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslimin, Darul Falah Jakrta Timur, 2007

Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fathur Robbani, Mensucikan Jiwa, Membuat hati Menjadi Tenang dan Damai, Jabal, Bandung, 2010

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker