MUI SultengTausiah

MENEGUK SEJUKNYA SPIRITUAL RAMADHAN

Oleh Mokh. Ulil Hidayat

Akhir-akhir ini di lingkungan umat Islam di seantero dunia sedang diperhadapkan situasi dan kondisi yang sulit. Di satu sisi. pandemi Covid-19 belum juga ada tanda-tanda berakhir bahkan ada potensi semakin banyak korban jika Physical Distancing tidak konsisten dijalankan. Sementara itu, Ramadhan 1441 H. sudah di ambang pintu gerbang. Di sinilah dilematisnya.

Untuk menghambat penyebaran Covid-19 dilakukan usaha preventif dari seruan, himbauan bahkan sampai pada Pembatasan Sosia Berskala Besar (PSBB). Usaha ini telah dijalankan; tetapi tidak akan membuahkan hasil jika tidak diiringi kesadaran bersama. Butuh keterpaduan tekad dan gerakan antara pemerintah dan masyarakat agar rantai penyebaran Covid-19 bisa diputus sehingga tidak terus terjadi dan berlarut-larut. Kebijakan ini tidak akan ada hasilnya jika kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan itu tidak dijalankan oleh seluruh komponen secara optimal.

Diskusi terus berlanjut sampai pada masa, di mana Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No. 14 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Ibadah Selama Pandemi Covid-19. Dengan dasar inilah, MUI Provinsi da Kabupaten/Kota mengeluarkan berbagai tausiah, edaran, sampai pada fatwa lanjutan tentang pelaksanaan ibadah. Bahwa aktivitas dakwah yang menghadirkan banyak orang seperti Tabligh Akbar, kegiatan sosial keagamaan bahkan sampai ibadah sholat berjamaah lima waktu (Rawatib), dan sholat Jum’at tidak diselenggarakan dan sholat Jum’at diganti dengan sholat Dhuhur di rumah masing-masing.

Perdebatan Itu Kapan Berakhir?

Berbagai tanggapan pro-kontra terjadi di tengah-tengah umat. Ada yang berdasarkan keyakinan teologis, bahwa Pandemi Covid-19 itu sebagai laknat Allah dan hanya akan menimpa orang-orang yang kurang beriman. Mereka yang selalu melanggar hukum halal-haram akan menjadi korban. Apalagi dalam keyakinannya, pandemi ini bermula dari orang-orang di Wuhan yang mengonkosumsi kelelawar dan hewan liar lainnya. Perilaku hidup yang mengabaikan prinsip hidup bersih dan sebagainya.

Kaum mukminin tidak akan terkena pandemi Covid-19 ini. Kaum Mukminin akan di jaga dan  dilindungi oleh Allah dari ancaman pandemi ini. Kaum mukminin adalah mereka taat kepada hukum-hukum Allah swt.  Mereka menkonsumsi yang halal, menjaga kebersihan dan selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Mereka yang selalu mendekatkan diri kepada Allah tidak akan terjangkit. Karena itu mereka selalu di masjid untuk i’tikaf, mengaji dan berdakwah. Tidaklah sulit dipahami jika sebagian yang lain berpendapat bahwa masjid adalah rumah suci-nya Allah dan dijaga sendiri oleh Allah. Orang-orang yang masuk ke dalam masjid akan aman dan terhindar dari Covid-19.

Sementara itu, mereka yang mematuhi protokol pencegahan pandemi Covid-19 berkeyakinan bahwa virus Covid-19 memiliki tipikal tidak menganal siapapun dengan latar belakang apapun, termasuk agama seseorang. Virus ini tingkat penyebarannya sangat mudah, hanya dengan droplate (percikan cairan) dari penderita secara serta merta orang yang terkena dapat dengan mudah terpapar, apalagi mereka yang rentan terhadap penyakit infeksi pernafasan dan mereka yang daya imunitasnya turun.

Bagi mereka yang menjalani keagamaan hanya didasari keyakinan teologis dan rasa keagamaan (ghirah) semata akan sulit menerima upaya penghentian sementara dari aktivitas di masjid. Dan mereka selalu mencari dalil pembenaran sembari menyalahkan kebijakan menutup masjid. Sebaliknya, mereka yang hanya mengandalkan logika rasional adakan terus mengkampanyekan untuk menutup pintu rapat-rapat media penyebaran Covid-19 di mana salah satu simpulnya adalah kerumunan manusia, termasuk di dalam kegiatan keagamaan. Perdebatan itu terus terjadi, bahkan setelah memasuki bulan Ramadhan pun perdebatan itu tampaknya tidak akan ada titik perhentiannya. Perdebatan itu terus bergulir senafas  dengan penyebaran Covid-19,  jika tidak diputus jalur penyebarannya.

Ramadhan Yang Berbeda

Dengan pembatasan sosial (Social Distancing) ini, praktis tradisi Ramadhan yang sudah berjalan bertahun-tahun sedikit-banyak akan merubah kebiasaan masyarakat. Ibadah di bulan Ramadahan menjadi sangat spesial bagi umat Islam. Shalat Terawih beramai-ramai di masjid-masjid, tadarus, i’tikaf, dan tidak sepi dengan berbagai ceramah yang disajikan oleh para pengurus masjid. Tradisi keagamaan yang sudah turun temurun dijalankan di masjid-masjid dengan sendirinya tidak akan pernah ada sementara waktu, selama masa pandemi Covid-19. Penghentian kegiatan ibadah yang bersifat melibatkan banyak orang sejenak berhenti atas pertimbangan maslahat yang disarankan oleh MUI. Penghentian ini juga bagian dari usaha pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari dampak yang lebih buruk lagi di masa yang akan datang.

Tentu, dengan penghentian tradisi ini, dahaga spiritual selama setahun yang dirasakan oleh umat tidak akan terjawab oleh tradisi yang selama ini dipraktekkan. Kerontang jiwa akibat hanyut dalam materialisme yang selama ini dipraktekkan tidak akan tersirami oleh tradi Ramadhan kali ini. Masjid, Mushola, Langgar, dan Surau akan menjadi sunyi. Pada saat inilah, umat merasakan ada sesuatu yang hilang, dan tidak biasa lagi. Tidak ketinggalan pula para penceramah, mubaligh, dan  para da’i juga akan kehilangan jadual ceramah yang selama ini sudah menjadi tradisi da tersusun rapi. Para lelaki di rumah juga ditantang dengan suasana baru. Bagi mereka yang selama ini menjadi makmun, Ramadhan ini  menuntut mereka membuktikan diri bahwa mereka layak disebut imam di rumah.

Masih banyak lagi hal baru yang akan menuntut setiap orang beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat Covid-19. Ketika ada tantangan, di sana ada harapan dan peluang. Di saat ada mudharat, di sana dibuka pintuk maslahat. Di satu sisi ada kesulitan, di sisi lain ada kemudahan-kemudahan. Allah swt.  Maha Adil, dengan keadilannya menuntun manusia untuk menemukan manfaatnya.

Mengakhiri Perdebatan, Mereguk Spritualitas Ramadhan

Semua keputusan hukum terhadap peribadahan selama merebaknya pandemi Covid-19 sudah pada tempatnya. Ulama mengeluarkan fatwa sudah melalui pertimbangan hukum yang sangat hati-hati. Demikian juga pemerintah dengan amanah konstitusi wajib melindungi setiap warga negara. Hari demi hari korban berjatuhan terus terjadi. Apakah ini akan kita biarkan dengan logika ghirah ibadah? Sudah tentu, sebaiknya kita akhiri. Kita mengikuti ulama dan umara yang hari ini, kali ini benar-benar berusaha melindungi umat dan rakyatnya. Dengan kaidah “daar al-mafasid muqadam ‘ala jalbi al-mashalih” (mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil manfaat) sudah cukup bagi kita untuk kembali kepada jalur yang benar, yaitu “athi’u Allah, wa athi’u rasulih, wa uli al-amri minkum” (taatlah kepada Allah dan rasul serta taat kepada pemimpin (ulama dan umara) diantara kamu).

Ramadhan bulan kemuliaan dan keberkahan kini sudah benar-benar hadir di tengah-tengah umat. Ada baiknya, kita akhiri perdebatan teologis antara paham qadariah dan jabariah. Saat tepat menyudahi perdebatan antara ketundukan mutlak kepada taqdir dan ikhtiar. Mari tutup perdebatan panjang yang tidak akan merubah apapun, kecuali memuaskan nafsu mengalahkan lawan debat saja tetapi menghabiskan waktu (washing time) semata. Jangan sampai hari demi hari yang penuh kemuliaan dan keberkahan itu berlalu; lalu pergi meninggalkan umat manusia tanpa meninggalkan bekas kebaikan diantara umat Islam.

Terawih berjamaah adalah satu kebaikan. Tadarus berjamaah adalah suatu kebaikan. Memberi buka bersama di masjid dan mushola adalah kebaikan. Pengajian di masjid dan mushola adalah kebaikan. Jika semuanya itu saat ini masih belum bisa dilakukan maka masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang dihamparkan selama sebulan penuh oleh Ramadhan yang hadir di tahun 1441 H. Berjamaah di rumah bersama keluarga adalah kebaikan. Mengaji dan tadarus di rumah bersama keluarga juga kebaikan. Memberikan tausiyah di tengah keluarga juga suatu kebaikan yang sangat tinggi. Terlebih lagi, menjaga dan menjamin keluarga agar tidak tertular dari Covid-19 adalah bagian utama dari seruan al-Qur’an “Quw anfusakum wa ahlikum naar” (jagalah diri dan keluargamu dari api neraka).  Sudah waktunya setiap keluarga muslim membangun kembali sendi-sendi kokohnya keluarga. Menyemai kebersamaan yang selam ini tergerus oleh roda kehidupan yang serba materialistis. Sudah saatnya semua perhatian dan usaha ditumpahkan kepada keluarga sehingga suasana spiritual menjadi ruh kehidupan keluarga yang surgawi. Bukankah Nabi Yang Agung, Nabi Muhammad saw. mengajarkan umat Islam agar menciptakan keluarga laksana surga. “Baitiy Jannatiy” (Rumahku adalah Surgaku). Agaknya Covid-19 membawa hikmah kepada umat manusia agar pulang ke rumah masih-masing, kembali menjadikan keluarga sebagai tujuan, sebab keluarga di dunia itu adalah kepinga surga yang terhempas di buminya Allah. (MUH)

Selamat Menikmati Kemuliaan dan Keberkahan Ramadhan, dari yang Dhaif Mokhammad Ulil Hidayat.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker