MUI SultengSejarahTausiah

Warisan Islam dan Sikap Kita terhadap Penyakit Menular

Oleh Mohammad Nur Ahsan*

Islam adalah agama yang akrab dengan penyakit menular. Tidak ada teks keagamaan yang memuat panduan bagi suatu wilayah yang terdampak epidemi, kecuali teks-teks suci milik umat Islam. Imam Muslim bin al-Hajjaj (w. 875 M.) mencatat di dalam Shahih-nya bahwa Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a. pernah memutuskan untuk membatalkan perjalanannya ke Syam, karena penyakit menular.

Ketika ‘Umar bersama pasukannya tiba di Sargh, dalam perjalanannya menuju Syam itu, mereka bersua dengan pasukan yang dikomandoi oleh Abu ‘Ubaydah ibn al-Jarrah r.a. Mereka menyampaikan kepada ‘Umar bahwa Syam telah dilanda wabah. Mendengar laporan itu, ‘Umar tidak segera mengambil keputusan. Ia memilih untuk bermusyawarah.

‘Umar lalu memerintahkan ‘Abd Allah bin ‘Abbas r.a. untuk memanggil para senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar guna dimintai pendapat perihal langkah yang harus ia ambil. Karena tidak menemukan kata sepakat, ‘Umar kembali memerintahkan ‘Abd Allah bin ‘Abbas untuk memanggil perwakilan dari klan Quraisy yang ikut berhijrah pada Hari Penaklukan Mekah. Kelompok yang terakhir ini menyarankan agar ‘Umar mengurungkan rencananya, kembali ke ke tengah masyarakat, dan tidak memasuki wilayah yang berwabah.

Mendengar saran dari para tokoh Quraish tadi, ‘Umar mengumumkan, “Saya akan berada di atas punggung tungganganku esok pagi. Hendaknya kalian melakukan hal yang sama.”

Setelah pengumuman itulah Abu ‘Ubaydah menyela, “Apakah kau lari dari takdir Allah?”

‘Umar kesal. “Andai saja bukan kau yang bertanya, Abu ‘Ubaydah. Ya, kami lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tidakkah kau berpikir, seandainya kau sedang menggembalakan unta-unta di suatu lembah. Pada satu sisi, kau melihat ladang yang hijau dipenuhi tumbuhan, sementara kau melihat ladang yang tandus di sisi lainnya. Ke mana pun kau mengarahkan unta-unta yang kau gembalakan, di situ ada takdir Allah.”

Menurut ‘Abd Allah bin ‘Abbas., ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf r.a., yang tidak hadir dalam musyawarah, seketika menghampiri mereka. “Saya memiliki pengetahuan tentang hal ini,” kata ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf. “Saya pernah menyimak Rasulullah saw. bersabda, ‘Bila kalian mendengar kehadiran wabah di suatu daerah, maka jangan mengunjunginya. Dan bila wabah itu telah menyebar di daerah yang kalian terlanjur berada di dalamnya, maka jangan keluar dengan tergesa-gesa darinya.’”

Setelah menyimak penjelasan ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, ‘Umar mengucapkan alhamdulillah dan bergegas pergi. (Lihat Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab [al-Salam] al-Thibb, Bab al-Tha’un wa al-Thiyarah wa al-Kihanah wa Nahwiha, nomor hadis 2219/5677 [Beirut: Dar al-Fikr, 2003], hal. 1110-1111).

Literatur-literatur Islam tentang Wabah

Islam sejatinya lahir di tengah penyebaran Wabah Justinian. Wabah ini diketahui merebak dari Eropa hingga ke Jazirah Arab secara terus-menerus sejak pertengahan abad ke-6 hingga pertengahan abad ke-8, atau hingga akhir masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Tidak mengherankan bila khazanah Islam mewariskan pengetahuan yang luas perihal wabah ini. Ketika para sejarawan modern berupaya untuk mengungkap pengetahuan masa lalu tentang Wabah Justiniain, suka tidak suka, mereka harus membaca laporan-laporan yang ditinggalkan oleh para muarikh dan tabib Muslim.

Dipicu oleh keingintahuan perihal Wabah Justinian, misalnya, Michael W. Dols menelaah selusin kitab-kitab klasik milik umat Islam. Sejarawan yang berasal dari Amerika Serikat ini lantas menuangkan laporan penelitiannya dalam artikel berjudul Plague in Early Islamic History yang dimuat pada Journal of the American Oriental Society (Vol. 9, No. 3) tahun 1974. Lewat artikel ini, Dols menunjukkan sejumlah penularan penyakit dalam peradaban awal Islam. Selain epidemi ‘Amwas yang menewaskan 25.000 pasukan Muslim, masih ada penyakit menular lainnya yang disebut dengan Syirawayh, al-Jarif, al-Fatayat, dan al-Asyraf.

Beberapa sumber utama yang digunakan oleh Dols perlu disebutkan di sini, seperti Qashidah fi al-Tha’un karya Baha` al-Din al-Subki (w. 756 H./1355 M.), Risalah al-Naba’ ‘an al-Waba` karya Ibn al-Wardi (w. 1349 M.), Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Ta’un karya Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852 H./1449 M.), dan Ma Rawahu al-Wa’un fi Akhbar al-Tha’un karya al-Suyuthi (w. 910 H./1505 M.). Karya al-Suyuthi inilah yang menjadi dasar bagi Alfred von Kremer (w. 1889 M.) dalam menyusun Culturgeschichte des Orients unter den Chalifen. Sejarawan Barat pada era belakangan, yang turut menaruh perhatian pada epidemi, seperti Sticker, Russel, Biraben, dan Le Goff, mengambil manfaat kronologis dari von Kremer.

Berselang delapan tahun, William I. Conrad mengikuti jejak Dols. Berangkat dari kebingungan dalam mamahami bagaimana umat Islam masa awal menarasikan wabah, dengan berpijak pada tesis al-‘Asqallani, Conrad meneliti bagaimana konsep al-waba` (الوباء) dan al-tha’un (الطاعون) diterapkan oleh para muarikh dan tabib Muslim. Ia lalu menuangkan laporannya tentang konsep kedua lema tersebut di dalam artikel berjudul Ta’un and Waba` Conceptions of Plague and Pestilence in Early Islam dan dimuat dalam Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 25, No. 3 tahun 1982 . Dalam artikel ini, setelah mengkaji lusinan karya-karya berbahasa Arab yang tersedia, Conrad menyimpulkan bahwa al-waba` memiliki arti yang lebih umum ketimbang al-tha’un. Istilah yang terakhir ini kerap digunakan secara spesifik dengan maksud pada jenis epidemi tertentu. Dengan kata lain, setiap al-tha’un adalah al-waba`, tetapi tidak semua al-waba` merupakan al-tha’un.

Seperti pendahulunya di Barat, Conrad mengkaji begitu banyak literatur peninggalan sarjana Muslim tentang penyakit menular, seperti Kitab al-‘Ayn karya al-Khalil bin Ahmad (w. 791 M.), Kitab al-Hayawan oleh al-Jahizh (w. 868 M.), al-Dzakhirah fi ‘Ilm al-Thibb tulisan Tsabit bin Qurra` (w. 901 M.), Tarikh al-Athibba` milik Ishaq bin Hunayn (w. 910 M.), al-Kamil fi al-Shina’ah al-Thibbiyah oleh al-Majusi (w. 911 M.), al-Hawi fi al-Thibb oleh al-Razi (w. 925 M.), al-Qanun fi al-Thibb karya Ibn Sina (w. 1034 M.), Kitab al-Mukhashshash tulisan Ibn Sida (w. 1066 M.), dan Syarh Muslim karya al-Nawawi (w. 1277 M.).

Baik Dols maupun Conrad sepakat bahwa kehadiran Wabah Justinian telah mendorong para sarjana Muslim untuk menerjemahkan dan mempelajari karya-karya kedokteran dari Yunani. Akan tetapi, tidak berhenti sampai di situ, para sarjana Muslim juga ikut melakukan riset mandiri dan mempublikasikan karya-karya yang sangat bermanfaat bagi pemahaman masyarakat modern perihal penyakit menular di masa lalu. Dalam pandangan kedua sejarawan tersebut, banyaknya sumber-sumber tertulis yang lahir dari tangan para sarjana Muslim menunjukkan bahwa Islam pernah memiliki tradisi yang terlatih dalam hal penyakit menular.

Kini, ketika umat Islam dihadapkan pada pandemi Covid-19, ingatan pada warisan kesarjanaan Muslim kiranya perlu dibangkitkan kembali. Dari peninggalan-peninggalan yang telah disebutkan dan tergolong langka bagi umat Islam hari ini, sudah seharusnya kita menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam tidak sulit mengambil sikap terhadap pandemi Covid-19. Seperti yang ditunjukkan oleh ‘Umar, di hadapan pandemi, keputusan yang lahir dari keseimbangan antara akal sehat dan pentunjuk yang tersua di dalam Alquran serta hadis Nabi saw. seyogianya menjadi pijakan bagi kita dalam menghadapi pandemi hari ini. Hanya dengan cara inilah kita dapat selamat dari pandemi sekaligus terhindar dari perilaku para ahli kitab yang lebay dalam beragama (Q.S. al-Nisa` [4]: 171). Wallahu’alam.

* Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Minat Sejarah, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker