MUI SultengTausiahUncategorized

Ramadhan Bulan Tarbiyatun Nafs

Oleh: Dr. Hamlan Andi Baso Malla, M.Ag.

Pendahuluan

Islam sebagai agama selain membimbing manusia menuju jalan kebaikan, kemaslahatan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, juga membimbing manusia untuk mengenal posisi manusia sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah yang berfungsi menghambakan diri kepada  Allah Swt dan menjadi pemimpin di bumi. Untuk mewujdukan fungsi manusia tersebut, maka Allah Swt memberi manusia berbagai potensi yaitu potensi jasmani, akal budi, dan nafs. Upaya mengoptimalkan potensi manusia tersebut, dibutuhkan pendidikan sebagai sarana untuk membimbing, mengembangkan, mengoptimalkan dan mengarahkan manusia berada pada jalan yang benar sesuai nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.

Bagi umat Islam, nilai-nilai Islam mengarahkan seluruh aktivitas manusia lahir dan batin bermuara pada seluruh gerak langkah dan detak jantung adalah tauhid (keesaan Allah Swt).[1]Keesaan Allah Swt bukanlah satu konsep ditengah-tengah berbagai konsep, akan tetapi ia merupakan suatu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengantar semua khazanah fundamental keimanan dan aksi manusia.[2] Dari keesaan Allah Swt, memancar kesatuan-kesatuan seperti kesatuan alam semesta dalam penciptaan, eksistensi dan tujuannya, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan berbagai disiplin ilmu dengan amal, kesatuan iman dan ratio, kesatuan asal manusia dan kesatuan lainnya. Nilai-nilai Islam yang demikian luas dapat mengubah secara total, sikap, pola pikir dan tingkah laku manusia melalui prinsip-prinsip tauhid.[3]

Prinsip-prinsip tauhid akan selalu ada pada manusia jika pendidikan Islam dapat terlaksana secara optimal, karena pendidikan Islam berfungsi selain mengembangkan kecerdasan rasionalitas manusia, juga mengembangkan kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritulitas. Dalam kajian artikal ini penulis menfokuskan pada dimensi tarbiyatun nafs sebagai upaya untuk mengembangkan kecerdasan spiritualitas yang terdapat dalam pesan-pesan ibadah bulan ramadhan.

Bulan ramadhan sebagai bulan tarbiyatun nafs yaitu bulan pendidikan jiwa. Tarbiyah dari aspek bahasa berasal dari kata rabba yarubbu bermakna memperbaiki, menjaga, membimbing dan menyempurnakan.[4] Secara terminologi dikemukakan oleh Imam Baidhowi dalam tafsirnya Anwaru Tanzil wa Asrarut Ta’wil menyebutkan tarbiyah mengantarkan sesuatu secara berkelanjutan tahap demi tahap untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Makna lain dari kata tarbiyah adalah mendidik, membimbing manusia menuju kesempurnaan fitrah kemanusiaan. Kata“Nafs” secara bahasa bermakna jiwa sesuai makna kandungan Alquran  (Q. S. Al-Fajr ayat 27-30):

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ – 89:27

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً – 89:28

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي – 89:29

وَادْخُلِي جَنَّتِي – 89:30

Nafs diartikan sebagai nyawa[5] terdapat dalam Alquran (Q.S. Ali Imran ayat 185) :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ – 3:185

Tarbiyatun Nafs diartikan sebagai pendidikan, pembinaan dan pengembangan jiwa manusia untuk mengenal Allah Swt secara sempurna. Makna lain dari tarbiyatun Nafs adalah tazkiyatun nafs yaitu salah satu dimensi kajian pendidikan Islam untuk memahami hakikat dan fungsi manusia dalam beribadah kepada Allah Swt dan memelihara hubungan baik dengan sesama umat manusia. Nafs sebagai salah satu potensi yang dianugrahkan Allah Swt kepada manusia, merupakan aspek terdalam pada dimensi manusia yang disebut dengan esoteris. Zainuddin Sardar memberi makna tazkiyatun nafs sebagai pengembangan karakter atau watak dan transformasi dari persoalan manusia dimana seluruh aspek kehidupan memainkan peranan penting dalam prosesnya.[6]Seseorang yang berupaya untuk menyucikan nafs akan selalu dalam keberuntugan dan sebailiknya seseroang yang mengotorinya akan selalu merugi.

Bulan Ramadhan sebagai Sarana Tarbiyatun Nafs

Bulan suci ramadhan merupakan bulan pendidikan spiritulitas karena terdapat rangkaian ibadah didalamnya yaitu ibadah puasa, shalat malam, tadarus al-Qur’an, zakat fitrah dan ibadah lainnya. Melaksanakan ibadah di bulan suci ramadhan merupakan upaya manusia untuk menyucikan jiwanya, membimbing tatanan batin manusia yang dapat mewujudkan kepribadian takwa, bersikap jujur, sabar, ihklas, berjiwa sosial  dan tawadhu, jauh dari sikap sombong, kikir dan prilaku buruk lainya. Bulan suci ramadhan sebagai sarana melaksanakan tarbiyatun nafs yaitu pendidikan jiwa dalam membentuk karakter dan kepribadian manusia sebagai bentuk transformasi manusia menuju hamba yang taat beribadah kepada Allah Swt dan sebagai khalifah Allah yang memahami tugas dan tanggung jawab melaksanakan amanah untuk memberi manfaat dan masalahah bagi kehidupan sosial manusia.

 Ibadah puasa yang dilaksanakan pada bulan ramadhan memiliki tujuan hakiki yaitu pengendalian diri yang dalam al-Qur’an disebut memperoleh takwa (Q.S. Albaqarah ayat 183)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ – 2:183

Memahami dan menghayati makna puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok yaitu hakikat manusia dan kewajibannya di bumi. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberi potensi untuk mengembangkan dirinya sehingga mencapai satu tingkat dan menjadikannya sebagai khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini. Dengan berpuasa, manusia berusaha mengembangkan potensi ruhaniahnya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan “peta” Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya.Seseorang yang selalu mencontoh sifat-sifat Tuhan berarti membangun dan memakmurkan bumi ini, sehingga pada akhirnya bumi ini menjadi “bayang-bayang” surga yang penuh dengan keamanan dan kedamaian hidup di bumi.[7] Hal ini sesuai makna dalam (Q.S. 6: 16)

مَّن يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ – 6:16

Dalam dunia pendidikan, sikap dan prilaku terpuji seperti jujur, sabar, ikhlas, tawadhu memegang peranan penting dalam rangka keberhasilan prestasi manusia, karena dengan sikap terpuji tersebut, maka akan memunculkan kebenaran dan kepercayaan dari respon sosial, sehingga menumbuhkan pandangan positif seseorang pada dirinya.[8]

Kemuliaan dan keutamaan manusia adalah hati. Dengan hatinya manusia mengungguli mahluk-mahluk lain. Dengan hatinya ia siap untuk makrifatullah (mengenal Allah). Makrifat dalam kehidupan di dunia merupakan keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaan, dan di akhirat merupakan perlengkapan dan simpanannya. Manusia mampu mengenal Allah dengan hatinya, bukan dengan organ-organ tubuhnya. Hatilah yang mengetahui Allah, yang beramal untuk Allah, yang berjalan menuju Allah, yang mendekat kepada Allah. Sementara organ-organ tubuh hanya mengikuti dan menjadi organ pembantu, alat-alat yang diperbantukan oleh hati, hati yang mempekerjakannya seperti tuan mempekerjakan budak.[9]

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparlan tentang pendidikan hati perspektif Al-Qur’an menuju pembentukan karakter, menemukan bahwa pendidikan hati sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter manusia. Ada tiga aspek mendasar dalam peran pendidikan hati dalam membentuk karakter manusia, yaitu;

Pertama, Pendidikan hati berperan dalam pembentukan kesadaran nilai. Hati akan dapat mengarahkan kesadaran nilai relatif melalui proses kognitif individu, disesuaikan dengan kebenaran universal yang diperoleh melalui kesadaran spiritual, melalui ilham kebenaran dari ruh dan wahyu. Nilai universal yang diyakini, akan menjadi pedoman kesadaran prilaku yang bermanfaat bagi seseorang dalam memperkokoh bangunan prilaku manusia. Kedua; Pendidikan hati memberi solusi relatifitas nilai karakter, dengan menambah peran inti hati sebagai penentu keputusan karakter. Struktur karakter menjadi tidak terhenti pada pertimbangan dan keputusan akal, melainkan diteruskan ke hati untuk diselaraskan dengan kebenaran ruhiyah dan wahyu. Keputusan tindakan karakter selanjutnya ditentukan oleh kualitas hati. Hanya hati sehat yang akan mampu mnjernihkan kebenaran rasional sehingga selaras dengan kebenaran ruhhiyah dan wahyu. Struktur prilaku perspektif pendidikan hati, menghendaki nilai yang dijadikan pedoman karakter adalah nilai yang kebenarannya meyakinkan dan mutlak. Nilai mutlak ini diproses melalui singkronisai antara nilai relatif dan nilai mutlak. Ketiga; Pendidikan hati sebagai konsep pembentukan karakter dimulai dari pangkal penentu karakter manusia, melalui menjernihkan dan melembutkan hati sebagai sumber penentu prilaku kebaikan seseorang. Proses pendidikan dilakukan dengan strategi yang terpadu, dimulai dari proses tazkiyah yaitu mengikis penyakit hati dan mengganti dengan sifat baik, proses tazyinah yaitu upaya membuat hati dihiasi dengan kecintaan pada kebaikan dan benci kejahatan, proses tadabburah yaitu upaya mengambl pelajaran dan nasehat secara terus menerus untuk memahami kebaikan dan penyadaran akan keharusan ketundukan hati pada kebenaran, dan proses Tarabbutah yaitu upaya peneguhan agar karakter baik konsisten dilakukan dengan keteguhan hati.[10]

Bulan ramadhan merupakan sarana pendidikan nafs untuk mendidik pribadi manusia, membersihkan nafs manusia dari segala salah dan dosa kepada Allah. Hal ini penting karena pada hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan fitrah, maka idealnya manusia terus berupaya untuk memelihara kesucian fitrah melalui sarana ibadah di bulan suci ramadhan. Sarana ibadah bulan suci ramadhan mengantarkan manusia untuk menyucikan jiwa agar kembali kepada hakikat diri manusia yang fitri.  Penyucian diri manusia di bulan suci ramadhan dapat dilakukan melalui  proses pendidikan dengan meminjam istilah yang dikemukakan oleh Suparlan yaitu; tazkiyah, tazyinah, tadabburah dan proses tarabbutah.. Proses pendidikan tersebut memiliki sasaran pada pendidikan spiritualitas yang dapat mempengaruhi terhadap peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt serta meningkatkan sikap dan perilaku akhlakul karimah dalam sistem pergaulan sosial di masyarakat.

Kesimpulan

Nafs pada diri manusia sebagai potensi, bisa saja kecendrungannya mengajak manusia untuk selalu taat kepada Allah Swt, dan sebaliknya dapat mengajak manusia untuk melalukan perbuatan buruk. Oleh karena itu, penting melakukan pembinaan dan pendidikan nafs  dan pendidikan akhlak manusia agar tercipta kecendrungan manusia menuju pada puncak kebaikan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

            Melalui ibadah bulan suci ramadhan, manusia akan selalu mendapatkan berbagai kebaikan dan maslahat, memperkuat mental spiritual, memperbanyak amalan ibadah praktis. Di bulan suci ramadahan, manusia akan merasakan suasana hati yang dihiasi oleh iman dan takwa kepada Allah Swt, yang berimplikasi pada perubahan sikap dan prilaku yang terpuji, dapat membersihkan pikiran dan menyucikan nafs, sehingga sifat-sifat dan prilaku manusia yang terpuji, jujur, sabar, ikhlas, berjiwa sosial menyatu dengan nilai-nilai  ajaran Islam.

Daftar Pustaka

Anshari, Muhammad Fazi Al-Rahman, The Qur’anic Fundation and Structure  of Muslim Society, ditermahkan oleh Juniarso, et.al, Konsep Masyarakat Islam Modern; Bandung: Risalah Cet.II

Shihab,  M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat; Bandung: Mizan

Suparlan, Ringkasan Tesis, Pendikan Hati Perspektif Al-Qur’an Menuju Pembentukan Karakter, (Program Pascasarjan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), 2014        

Lukma Nulhakim, Konsep Bimbingan Tazkiyatun Nafs Dalam Membentuk Sikap Jujur Mahasiswa BKI Melalui Pembiasaan (Conditioning), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Zainuddin Zardar, Masa Depan Peradaban Muslim, (Surabaya; Bina Ilmu)


[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat; Bandung: Mizan, h. 249

[2] Muhammad Fazi Al-Rahman Anshari, The Qur’anic Fundation and Structure  of Muslim Society, ditermahkan oleh Juniarso, et.al, Konsep Masyarakat Islam Modern; Bandung: Risalah Cet.II, h. 141

[3] Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 250

[4]Wikipedia, diakses tanggal 7 Mei 2020

[5] Lukma Nulhakim, Konsep Bimbingan Tazkiyatun Nafs Dalam Membentuk Sikap Jujur Mahasiswa BKI Melalui Pembiasaan (Conditioning), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; h. 135

[6] Zainuddin Zardar, Masa Depan Peradaban Muslim, (Surabaya; Bina Ilmu), h. 383, lihat pula Lukma Nulhakim, Konsep Bimbingan Tazkiyatun Nafs,…h. 136

[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 308

[8] Lukma Nulhakim, Konsep Bimbingan Tazkiyatun Nafs, h. 130

[9]Lukma Nulhakim, Konsep Bimbingan Tazkiyatun Nafs, h. 131

[10] Suparlan, Ringkasan Tesis, Pendikan Hati Perspektif Al-Qur’an Menuju Pembentukan Karakter, Program Pascasarjan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker