Reaktualisasi Pesan Moral Idul Qurban Bagi Wujudnya Masyarakat Yang Harmonis Dalam Kebhinekaan
Khutbah Hari Raya Idul Adha 1440 H.
Oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin, M.Ag.
(Ketua Umum Majelis ulama Indonesia (MUI) Kota Palu/Rais Syuriah Nahdhatul Ulama (NU) Sulawesi Tengah/Ketua Dewan Pakar Alkhairaat/Guru Besar Pemikiran Islam pada IAIN Palu/Ketua FKUB Sulawesi Tengah)
السلام
عليكم و رحمة الله وبركاته
الله
أكبر 3xالله أكبر 3xالله أكبر 3xالله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا
وسبحان
الله بكرة و أصيلا. الحمد لله الذى جعل هذا اليوم عيدا للإسلام.
و حّرم
علينا الصيام فيه. وهو أمرنا بالإتّحاد و الإعتصام و نهانا عن التفّرق
والإنقسام.
ونحمده و نشكره على كمال إحسانه وهو ذو الجلال و
الإكرام.
ونسأله الهداية و التوفيق على الإنقياد لدين الإسلام. أشهد أن لا
إله
إّلا الله وحده لا شريك له ذو الجود والأنعام. و أشهد أ ّن محّمدا عبده
و
رسوله أشرف الأنام. إّما بعد, فيا عباد الله إتّقوا الله ح ّق تقاته و لا تموت ّن
إّلا و
أنتم مسلمون.
Di pagi hari yang mubarak ini, kita berhimpun, berjama’ah dan bersimpuh di hadapan Allah swt di tempat ini, sebagai hamba-hamba yang patuh dan ikhlas penuh syahdu menggetarkan bibir dengan kalimat-kalimat tahmid, sehingga gegap gempitalah angkasa dengangemuruhnya: “Allahu Akbar wa lillaahil Hamd” (Allah Maha Agung, dan segala puji hanya untuk-Nya).
Belum begitu lama rasanya di tempat ini kita menunaikan ibadah serupa, dua bulan lebih sepuluh hari, tepatnya 70 hari yang lalu kita melaksanakan shalat Idul Fitri, 1 Syawal 1440 H. dan pada hari ini kita kembali melaksanakan shalat Idul Adha, 10 Zulhijjah 1440 H. yang juga dikenal dengan hari raya kurban.
Allahu Akbar 3x Wa lillaahil Hamdu
Kaum muslimin yang berbahagia
Adapun judul khutbah kita hari ini, adalah: Reaktualisasi Pesan Moral Idul Qurban Bagi Wujudnya Masyarakat Yang Harmonis dalam Kebhinekaan.
Pada saat ini umat Islam dari segala penjuru telah berkumpul di tanah suci untuk melakukan segala rangkaian pelaksanaan Ibadah haji, puncak ibadah haji pada hari 9 Dzulhijjah telah terlewati dengan baik. Kita layak berbahagia bersamaan dengan kebahagiaan mereka yang di sana. Inilah wujud nyata persaudaraan berlandaskan iman, yang digambarkan dalam firman Allah swt:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudaramu (al-Hujurat:10).
Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kesinambungan “jalan kesalehan sosial spiritual” dari Idul Fitri. Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendahhatian untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s. sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji.
Kedua hari raya tersebut bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, pentingnya silaturahim, dan etos berbagi (yang disimbolkan dengan zakat fitrah pada idul fitri dan daging kurban pada idul adha). Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti dikumandankan Nabi Muhammad saw dalam khutbah wadanya di saat wukuf di Arafah.
يا أيها الناس لا فضل لعربي على أعجمي ولا أبيض على أسود إلا بالتقوى الناس بنوا أدم وأدم من تراب
Wahai manusia, tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan bukan Arab, orang putih dengan orang hitam, kecuali takwanya. Manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam (diciptakan) dari tanah.
Haji tidak hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan ia sebagai ibadah sosial. Kerinduan kepada Allah dan Nabi menjadi unsur utama dalam menjalankan ibadah ini, di sinilah mereka di kumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku dan bangsa. Bangsawan dan rakyat jelata memakai pakaian yang sama, dan tidak ada yang istimewa. Perbedaan warna kulit tidak ada artinya. Seorang kulit putih dari Benua Eropa akan berdiri sejajar dengan seorang kulit hitam dari Afrika. Mereka pada waktu dan tempat yang sama melakukan ibadah kepada Sesembahan yang sama, yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak di sembah selain Dia.
Allahu Akbar 3x Wa lillaahil Hamdu
Kaum muslimin yang berbahagia
Di antara makna sosial haji yang menghubungkan antara manusia dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah: pertama, penyadaran akan adanya kebhinekaan umat Islam. Umat Islam saat ini telah tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling Barat hingga paling Timur. Tentunya, di antara umat Islam tersebut terdapat perbedaan dalam keberagamaannya. Mulai dari mazhab yang paling liberal sampai mazhab yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya.
Karena berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar bahwa kebhinekaan umat Islam itu tidak bisa dihindari, karena adanya perbedaan adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa, dan lain sebagainya. Kebhinekaan umat Islam merupakan sebuah realitas yang niscaya ada.
Meski demikian, kebhinekaan dan multikulturalitas umat Islam tersebut disatukan dengan lafaz “labbaika Allahumma labbaik…” yang diserukan ketika melaksanakan ibadah haji. Sehingga, makna sosial haji yang kedua adalah persatuan dan persamaan.
Kesadaran akan kebhinekaan umat Islam yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji, semestinya dapat meningkatkan kesadaran kita akan kebhinekaan umat manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika dalam ibadah haji kita mampu melebur dalam ikatan ukhuwah islamiyyah dan mengabaikan segala perbedaan mazhab, ras dan kelas sosial, maka seyogyanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita pun mampu melebur dalam ikatan ukhuwah insaniyah dan mengabaikan segala perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan.
Kita sadari bersama
Dalam satu dunia kita berbeda bangsa dan Negara
Dalam satu bangsa dan Negara kita berbeda suku bangsa
Dalam satu suku bangsa, kita berbeda keyakinan dan agama
Dalam satu keyakinan dan agama, kita berbeda paham dan aliran
Dalam satu paham dan aliran, kita berbeda pemahaman
Dalam satu pemahaman, kita berbeda pengalaman
Dalam satu pengalaman, kita berbeda penghayatan
Dalam satu penghayatan, kita berbeda keikhlasan
Dalam satu keikhlasan, kita rawat kebhinekaan, kita mantapkan
keberagaman. Nabi saw bersabda:
خير الناس أنفعهم للناس
Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak memberi mamfaat pada sesama manusia.
Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan keislaman kita dari level “beragama” ke level beriman. Karena ada perbedaan antara orang “beragama” dengan orang beriman, antara lain:
- Orang “beragama” adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu “Ada”. Sedangkan orang beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu “Hadir”. Orang melakukan perbuatan jahat, karena berpikir bahwa Tuhan itu ada, tapi dia tidak merasakan kehadiran-Nya. Orang beriman merasakan kehadiran Tuhan di manapun dia berada”.
- Orang “beragama” selalu merasa paling suci dan paling benar. Sedangkan orang beriman selalu melihat semua orang adalah setara, semua punya kelebihan dan kekurangan.
- Orang “beragama” adalah orang yang mudah melihat perbedaan, dan sensitif dengan perbedaan. Sedangkan, orang beriman adalah orang yang mudah melihat persamaan, mau menerima perbedaan, dan mau mendengarkan orang lain.
- Orang “beragama” selalu mementingkan simbol-simbol agama dan ritual agama semata. Sebaliknya, orang beriman adalah orang yang menyembunyikan ibadahnya dari orang lain, dan mempraktekkan
imannya dimanapun dan kapanpun. - Orang “beragama” adalah orang yang baik dalam urusan ibadah ritual semata, sedangkan orang beriman adalah orang yang baik dalam semua urusan, karena menganggap semua urusan sebagai ibadah.
Tapi harus dicatat, kriteria di atas hendaknya tidak digunakan dalam menilai orang lain, tetapi digunakan untuk menilai diri masing-masing: apakah kita termasuk orang “beragama” atau orang beriman.
Kaum Muslimin yang Berbahagia.
Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Sebagai seorang muslim, yang telah bersaksi sebagai pengikut Muhammad saw, sudah sepatutnya kita berkiblat kepadanya bagaimana seorang muslim hidup berdampingan dengan kelompok lain, dalam sebuah masyarakat yang plural.
Muhammad saw telah wafat 15 abad yang lalu, namun gaung keberhasilanya sebagai pemimpin tak pernah berlalu, salah satunya adalah membentuk Madinah menjadi sebuah Negara Multikultur dengan berbagai latar belakang, disatukan melalui sebuah Piagam yang dikenal dengan “Piagam Madinah” yang oleh para pakar sejarah disebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang lebih tua dari piagam magna charta. Madinah oleh Nabi dijadikanya Negara plural yang menjunjung tinggi prinsip tasamuh (toleransi), serta berhasil menyampaikan misi utamanya, menegakkan kalimat Tauhid tanpa melukai prinsip toleransi.
Indonesia terdiri dari kumpulan banyak etnis dan suku bangsa, tentu punya budaya berbeda, juga berkembang agama yang berbeda pula, kondisi tersebut sama dengan Madinah di saat Rasulullah saw pertama kali berhijrah. Di sana hidup beragam kelompok, ada suku Aus dan Khazraj yang selalu terlibat pertikaian, ada pula bangsa Yahudi yang memonopoli ekonomi. Dari segi keyakinan, di tempat ini terdapat kaum musyrik, kaum muslim, Yahudi dan juga Nashrani.
Lalu apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam menata keragaman dan perbedaan tersebut? Hal yang pertama dilakukan oleh beliau adalah meminta setiap kelompok untuk mengorbankan egonya masing-masing, termasuk umat Islam itu sendiri. Inilah spirit utama yang tertuang dalam 47 pasal kesepakatan bersama dalam Piagam Madinah.
Dalam salah satu pasal Piagam Madinah (pasal 37), dinyatakan: Kaum Yahudi dan Kaum Muslim punya kewajiban masing-masing untuk menanggung biaya yang diperlukan dan saling membela dari serangan musuh. Selain menegaskan kewajiban menjaga loyalitas, saling menasehati, tolong menolong dan membela orang-orang yang dizalimi, pasal ini juga menegaskan tanggung jawab individual sebagai prinsip untuk memutus fanatisme kesukuan. Dari suku dan agama apapun, yang benar dibela dan yang salah dihukum.
Ada dua kata kunci yang disebutkan sembilan kali dalam Piagam Madinah, yaitu: al-ma’ruf dan al-Qisth. Al-ma’ruf dapat diartikan sebagai kearifan lokal (local wisdom), yakni sebuah tradisi yang baik yang sudah diterima oleh masyarakat. Sedangkan al-Qisth berarti prinsip-prinsip yang memenuhi rasa keadilan. Dua kata kunci ini merupakan simpul yang menjadi titik temu antara agama dan tradisi yang apabila dipelihara dengan baik niscaya akan melahirkan masyarakat yang harmonis, meski hidup dalam keragaman agama dan budaya. Kebajikan dan keadilan melewati dan mengatasi sekatsekat suku dan agama.
Jemaah Ied yang dirahmati Allah
Analisis sejarah mengenai fungsi Piagam Madinah dan kebijakan politik Nabi saw sangat penting untuk dilakukan dan di-update kembali. Sebab, hal itu menjadi cermin untuk memahami konsepsi Islam mengenai hubungan agama dan kebijakan sosial, atau dalam konteks modern: agama dan negara bangsa (nation state). Nabi Muhammad saw datang ke Yastrib (Madinah) tidak bermaksud mendirikan sebuah negara Islam secara simbolis. Karena, masyarakat yang dihadapi oleh Nabi sangat plural: Muslim Muhajirin, Muslim Anshar (Aus & Khazraj), tiga Suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, & Qainuqa’), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala. Pluralitas etnis dan agama disikapi Nabi bukan dengan memaksakan agama tertentu (Islam) menjadi dasar ‘konstitusi’ masyarakatnya, melainkan membuat kontrak politik yang mampu mengakomodir semua golongan. Di kemudian hari, para pakar sejarah mengakui bahwa Madinah yang dipimpin Nabi kala itu menjadi prototype pertama masyarakat yang berkonstitusi dan diikat dengan perjanjian tertulis. Masyarakat itu juga disebut dengan masyarakat mutamaddin (berperadaban).
Bagi kita umat Islam Indonesia yang akan memperingati ulang tahun kemerdekaan yang ke-74, Piagam Madinah memiliki arti penting. Hal itu karena, latar belakang dan kandungannya, dalam banyak hal, memiliki visi yang hampir sama dengan Pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Piagam Madinah tentu masih bisa dilakukan; dimunculkan makna-makna baru yang lebih relevan. Hal penting yang bisa diperoleh dari upaya kontekstualisasi itu adalah bahwa kita wajib melihat kepada substansi, bukan simbol-formalnya. Formalitas simbol sering hanya menjadi jargon kosong yang bisa menumbuh-suburkan virus “pemberontakan dan pengkhianatan” terhadap bangsa sendiri.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukanlah sistem khilafah, tapi sosok kekhalifahan, sosok yang mau merakyat. Apalagi rakyat kecil, mereka tak peduli apa itu sistem, apa itu khalifah, yang mereka tahu, besok makan apa, sosok berjiwa khalifah akan tahu apa keinginan rakyat. Dengan menghayati piagam madinah dan pancasila dengan baik kita bisa mencapai persatuan dan kesatuan secara hakiki, tanpa ada perpecahan.
Jemaah Ied yang dimuliakan Allah
Salah satu sifat yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. sebagai pengejawantahan dari misi kerahmatan yang diemban oleh beliau adalah sikap toleransi, dan sebagai umat Muhammad, kita adalah penerus pengemban misi tersebut. Sikap saling menghormati dan menghargai sesama warga masyarakat serta tidak saling mencurigai adalah cerminan dari seorang Muslim sejati. Sikap ini diteladankan oleh Nabi Muhammad saw. sebagaimana diilustrasikan dalam sebuah riwayat, misalnya, ketika lewat iringan jenazah seorang Yahudi, Rasulullah berdiri untuk memberi penghormatan.
Oleh karena itu, sikap toleransi, saling memahami, menghormati, dan menghargai harus senantiasa dikedepankan. Sikap ini mesti menyemangati proses interaksi dan pergaulan antar sesama. Bahkan, ketika ruh tersebut kembali ke pangkuan Tuhan dan yang tertinggal hanya jasad, kadar penghormatan itu tidak boleh surut. Kemuliaannya tetap abadi dan memantulkan sinar keabadian. Inilah yang membuat Rasulullah saw. tetap tegak dan memberi hormat kepada jenazah Yahudi itu.
Tidak dapat disangkal, ditolak, apalagi dinafikan bahwa keragaman dalam segala hal di dunia ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Bahkan, merupakan sunnatullah dan bagian dari tanda-tanda Kemahakuasaan Tuhan. Dia-lah yang betul-betul Esa, dan selain-Nya mengandung keragaman.
Setiap upaya mengeliminasi keragaman itu menimbulkan permasalahan besar. Upaya seperti itu, di samping menentang sunnatullah, juga bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak sejalan dengan prinsip universal, yakni bahwa persatuan dan kesatuan harus dibangun dalam keragaman.
Fanatisme kelompok, betapapun suci dan luhur landasannya cenderung membekukan kemampuan berpikir dan berwawasan. Apalagi mengatasnamakan keluhuran nilai-nilai agama untuk mendapatkan
legitimasi. Semua agama selalu menekankan semangat kasih sayang, toleransi, dan hormat-menghormati. Kekerasan, apapun dalih dan bentuknya tidak pernah mendapatkan pembenaran, dan karenanya
merupakan musuh bersama.
Allah swt. berfirman di dalam QS. al-Maidah, 48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
.. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Ayat tersebut merupakan pedoman yang sangat konsepsional tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim; dengan sesama manusia yang berlainan etnis dan agama. Dengan demikian, sesungguhnya ajaran mengenai kerukunan antar umat beragama bukanlah hal yang baru. Keragaman, di samping diakui secara tegas oleh Islam sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak bisa didistorsi, juga harus diterima dan dihormati sebagai anugerah besar dari Tuhan. Dunia yang beragam adalah dunia yang indah. Masyarakat yang beragam adalah masyarakat yang dinamis dan kreatif karena selalu termotivasi untuk berlomba dan bersaing untuk meraih kehidupan yang lebih baik (ber-fastabiq al-khayraat).
Setiap orang atau kelompok mestinya menyadari bahwa orang atau kelompok lain memiliki hak yang sama untuk menikmati kehidupan secara bebas dan damai, dan juga berhak atas penghormatan, pengakuan, kesempatan bekerja, dan berekspresi; kebebasan untuk menganut agama dan keyakinan, dan sebagainya.
Pada sisi lain, kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan atau ditolaknya segala ciri dan sifat yang dimiliki oleh individu, kelompok, asal, keturunan atau bangsa. Kesatuan tidak mesti harus seragam, tetapi terwujudnya harmoni dalam kebhinekaan.
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Jemaah Idul Adha yang dirahmati Allah
Bangsa Indonesia belum lama ini telah melaksanakan sebuah agenda penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2019. Kita dituntut memiliki spirit “berkorban”. Kesediaan mengorbankan egoisme sectarian, serta kepentingan individu dan kelompok, demi mewujudkan kemaslahatan bersama sebagai warga bangsa. Adalah sangat manusiawi bila kita berbeda pilihan, karena mustahil ratusan juta penduduk negeri ini memiliki pilihan yang sama. Tetapi harus diingat, perbedaan pilihan bukan alasan untuk meruntuhkan persatuan dan persaudaraan.
Mari kita resapi dan amalkan pesan pengorbanan yang terkandung dalam Idul Kurban ini, Mari kita tanamkan kearifan dalam menyikapi kebhinekaan sebagaimana yang disimbolkan dalam ritual haji. Dan mari kita wujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan seperti yang diteladankan oleh Rasulullah saw dalam kehidupan masyarakat Madinah yang multikultural.
Akhirnya, semoga ikhtiyar kita dalam mewujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan, menjadikan Islam dan umatnya di negeri ini benar-benar dapat menunjukkan perannya sebagai pembawa rahmat bagi semesta, rahmatan lil ‘aalamin. Sehingga negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini dapat tetap berdiri tegak, kokoh dan bermartabat dalam naungan keridhaan dan ampunan ilahi, baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafuur.
Amin Ya Rabbal Alamin.
اللهّم
ربّنا تقبّل منّا إنّك أنت السميع العليم وتب علينا إنّك أنت التّّواب
الّرحيم
واغفر لنا إنّك إنت الغفور الرحيم وارحمنا إنّك أنت خير الراحمين.
ربّنا
أتنا فى الدنيا حسنة و فى الأخرة حسنة و قنا عذاب النار. سبحان
ربّك ر
ّب العّزة عّما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله ر ّب العالمين.
الله
أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد