Ramadhan Momentum Terbaik Untuk Bangkit Melawan Pandemi
Oleh M. Nurdin Zuhdi*
Tahun ini, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Virus Corona telah merubah segalanya. Memang berat ibadah puasa di tengah gempuran wabah. Karena semua kegiatan termasuk ibadah yang sifatnya di lakukan di ruang publik, harus dirumahkan sementara. Namun demikian, semangat untuk meraih derajat ketaqwaan di bulan penuh berkah ini tidak boleh luntur. Walaupun puasa Ramadhan tahun ini sangat berbeda, nilai-nilai yang ditanamkan dalam ibadah Ramadhan tetaplah sama. Bahkan, kita bisa menjadikan Ramadhan sebagai momentum terbaik untuk bangkit melawan wabah ini. Karena banyak nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam ibadah puasa yang bisa kita bawa dalam melawan virus yang sampai hari ini belum juga ditemukan penawarnya.
Hakikat Puasa
Kata “puasa” dalam Bahasa Arab disebut “Ash-Shiyam” atau “Ash-Shaum” yang secara bahasa berarti “al-Imsak” yang bermakna “menahan diri dari sesuatu”. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan “imsak”, itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis.
Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekedar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja bagi pelakunya.
Sebab itu, dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, puasa umum (shaum al-‘umum) yaitu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Kedua, puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush) yaitu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah swt.
Dari tingkatan orang berpuasa yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali di atas, tingkatan pertama yaitu puasa umum (shaum al-‘umum) adalah tingkatan yang rawan dengan tipe puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga. Karena, jika puasa kita hanya mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan berhubungan biologis, anak kecil yang baru belajar berpuasa pun bisa melakukannya. Karena hakikat puasa yang sebenarnya adalah tidak hanya menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, namun juga menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa. Puasa inilah yang dimasukkan pada tingkatan kedua oleh Imam Al-Ghazali di atas. Jika kita belum bisa mencapai tingkatan yang ketiga karena tidak semua orang mampu, maka untuk menghindari puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga, kita harus masuk pada tingaktan yang kedua. Tipe puasa inilah yang akan memberikan perubahan sosial berskala besar.
Banyak hadis yang menguatkan tentang puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini. Diantaranya adalah “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah tidak butuh pada puasanya.” [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan: “Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat”.
Nilai-Nilai Menahan Diri untuk Melawan Pandemi
Jika nilai-nilai menahan diri yang diajarkan dalam ibadah puasa tersebut dapat ditegakkan, maka kita akan melihat perubahan sosial bersekala besar terajdi di negeri ini. Mengapa demikian? Karena banyaknya kerusakan yang terjadi di muka bumi adalah akibat ulah manusia yang tidak bisa menahan diri (QS. Ar-Rum [3]:41). Bayangkan, dengan menahan pandangan, telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang merusak, betapa banyak manusia, harta dan alam yang terselamatkan. Sebab itu, sikap menahan diri ini sangat penting.
Coba kita perhatikan, betapa banyak kerusakan yang terjadi di muka bumi ini akibat ulah manusia yang tidak bisa menahan diri. Adanya kekerasan seksual karena banyak manusia yang tidak bisa menahan pandangannya dan menahan syahwatnya; banyaknya kasus korupsi yang terjadi karena banyak yang tidak bisa menahan tangan dan pikirannya untuk menguasai harta yang bukan haknya; adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena tidak bisa menahan nafsu amarahnya; terjadinya banjir, akibat manusia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunduli hutan dan membuang sampah sembarangan; terjadinya kecelakaan di lampu merah akibat pengguna jalan tidak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak menunggu lampu hijau. Terjadinya pembunuhan, miras, narkoba dan obat-obatan terlarang, fitnah, menebar hoax, perzinahan, perselingkuhan dan lain-lainnya adalah akibat manusia tidak bisa menahan diri.
Nilai-nilai menahan diri yang terdapat dalam ibadah puasa inilah yang harus kita bawa dalam melawan Covid-19 atau yang dikenal dengan virus Corona yang sedang mewabah negeri ini. Jika nilai-nilai menahan diri ini kita tegakkan, maka social distancing dan physical distancing dalam menghalau penyebaran Corona tidaklah berat untuk kita jalankan. Karena nilai-nilai social distancing dan phsycal distancing adalah bagian kecil saja dari hakikat puasa Ramadhan itu sendiri. Misalnya, kita diperintahkan untuk menahan mulut kita dari mengguncing adalah termasuk social distancing. Contoh lainnya, kita dilarang berhubungan biologis disiang hari pada saat puasa adalah termasuk psychal distancing. Jika social distancing dan psychal distancing hanya sikap menahan diri dari kerumunan dan menjaga jarak minimal satu meter, maka puasa Ramadhan mengajarlan lebih dari itu. Karena hakikat puasa bukan banya menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa secara fikih semata, namun hakikat puasa yang sesungguhnya adalah menjaga akhlak kemanusiaan kita.
Sehingga menahan diri untuk tetap di rumah (stay at home) akan lebih mudah ditegakkan jika kita memahami hakikat puasa Ramadhan. Menahan diri untuk tidak ke luar rumah kecuali memang sangat mendesak; menahan diri untuk tidak beribadah ke masjid sesuai himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI); menahan diri untuk tidak marah-marah ketika masjid atau mushala ditutup; menahan diri untuk tetap tenang dan jangan panik; menahan diri untuk tidak mudik dulu tahun ini dan menahan diri lain-lainnya. Dengan sikap menahan diri inilah kita optimis akan bisa menghalau gempuran Corona. Saat-saat seperti ini sikap menahan diri adalah langkah terbaik dalam mencegah penyebaran Corona saat ini semakin masif. Sikap menahan diri yang terdapat dalam nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan ini harus dapat kita aktulisasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah penyebaran virus ini. Dengan penuh rasa optimis, kita bisa menjadikan Ramadhan sebagai momentum terbaik untuk bangkit.
* Dr. M. Nurdin Zuhd, S.Th.I., M.S.I adalah dosen Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Prodi Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga lulus 2009. Program Magister (S2) pada Prodi Agama dan Filsafat Konsentrasi Al-Qur’an dan Tafsir lulus 2011. Sedangkan untuk Program Doktor (S3) juga diselesaikan di kampus yang sama pada Prodi Studi Islam lulus 2019