MUI SultengTausiah

Bulan Ramadhan dan Kesadaran Lingkungan

Oleh Syamsuri

Umat Islam menunaikan kewajiban syariat rukun Islam ke-4, yaitu ibadah puasa, yang waktunya ditentukan pada bulan Ramadhan. Ritual puasa diawali dengan niat, makan  sahur hingga terbit fajar (waktu imsak), lalu menahan tidak makan dan minum hingga terbenam matahari. Itulah yang masuk kategori wajib. Sedangkan ibadah sunnah yang menghiasi bulan Ramadhan yaitu shalat sunnah tarawih dan di awal bulan Syawal, pelaksanaan shalat idul fitri. Di samping ibadah wajib puasa, terdapat pula kewajiban rukun Islam yang ke-3 di bulan Ramadhan yaitu menunaikan zakat fitrah.

Menunaikan zakat fitrah yaitu menyerahkan bahan makanan pokok sehari-hari kepada delapan golongan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, riqab (hamba sahaya), gharim (orang yang terlilit utang), fisabilillah (bekerja untuk Allah), dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan). Pada konteks ini, terdapat amil yang menerima zakat fitrah kemudian membagikan kepada tujuh golongan lainnya.

Ketentuan zakat fitrah dengan makanan pokok menunjukkan bahwa ibadah pada bulan Ramadhan, merupakan pengantar untuk mengamalkan nilai-nilai ketersediaan pangan bagi umat manusia. Makanan pokok manusia tentu berbeda sesuai dengan tempat tinggal domisili. Umat Islam Indonesia, untuk saat sekarang mayoritas dengan beras. Ketentuannya adalah 2,5 kg/jiwa. Jika diuangkan, terjadi keragaman sesuai dengan harga beras yang dikonsumsi oleh masing-masing umat Islam. Fenomena yang terjadi adalah mayoritas menyerahkan zakat fitrah dalam bentuk uang, baik tunai maupun transfer antar rekening.

Menunaikan zakat fitrah berupa beras menunjukkan bahwa, hubungan manusia dengan lingkungan alam agraris harus senantiasa terjaga. Beras diolah dari gabah yang ditumbuhkan oleh bulir-bulir padi, pada sebuah areal yang terjaga dengan ekosistem alam yang melingkupinya. Menanam padi juga memiliki waktu astronomi yang telah ditentukan untuk menghindari musim penetasan hama, dan pada musim penghujan. Jadi, ternyata ibadah wajib yang kita lakukan terdapat penentuan waktu, sebagai makna bentuk kedisiplinan umat manusia sebagai khalifah (pengelola alam) di bumi.

Budidaya tanaman padi di Indonesia, yang dulu disebut nusantara, telah banyak mengalami perubahan. Bercocok tanam pada pada masa tradisional, memunculkan keragaman pangan bagi keluarga petani. Sawah dibajak dengan sapi, menunjukkan ketersediaan daging untuk memenuhi protein. Memelihara sapi adalah pengamalan Al-Qur’an yang terbesar. Surah Al-Baqarah (memiliki arti sapi betina, sapi perah, dan sapi indukan). Terjemah Al-Qur’an Kementerian Agama menyebut Al-Baqarah adalah sapi betina. Ini menunjukkan makna kewajiban umat Islam untuk, budidaya ternak sapi. Karena yang beranak pinak adalah sapi betina.

Seiring dengan hal tersebut, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada Pasal 18 Ayat 4, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif atau ternak ruminansia besar betina produktif. Regulasi ini menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menjalankan syariat Islam, sesuai dengan petunjuk Al-Quran.

Tradisionalitas pertanian, juga ditunjukkan dengan keragaman budidaya ikan di areal persawahan. Kini, hal itu disebut program mina padi. Di sudut-sudut sawah, terdapat kolam ikan. Ternyata memiliki fungsi kelayakan tanah dan air di persawahan. Jika ikan tumbuh dan berkembang biak dengan baik, menunjukkan kondisi sawah yang sehat. Sawah yang sehat akan berpengaruh pada budidaya tanaman padi. Jika tanah dan air tercemar, maka otomatis ikan-ikan pada mati. Ini menunjukkan bahwa terjadi gangguan ekologi pertanian.

Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, tentu berpengaruh pada labilnya ketersediaan lahan untuk menanam padi. Akibat penjarahan hutan, menimbulkan banjir ketika hujan, berdampak langsung pada tanaman padi. Bencana banjir, telah banyak merusak tanaman padi. Ketika tanaman padi rusak, tentu persediaan bahan untuk zakat fitrah akan terganggu. Jika zakat fitrah terganggu tentu kualitas ibadah puasa bulan Ramadhan tidak maksimal. Padahal kita selalu berikarar untuk mencapai tingkat fitrah, yaitu suci lahir dan bathin ketika ibadah puasa berakhir.

Oleh karena itu, kewajiban puasa dan zakat fitrah harus menjadi ideologi kesadaran lingkungan. Tabiat manusia, yang selalu buang sampah sembarangan, akan berdampak pada rusaknya lingkungan alam bahkan lingkungan sosial. Betapa banyak manusia yang seeanaknya membuang sampah di depan atau sekitar rumah orang lain. Padahal, ketika orang lain membuang sampah di depan rumahnya, marah luar biasa. Karena terjadi penolakan membuang sampah di areal tertentu, yang menjadi sasaran adalah sungai. Akibatnya, air sungai ke laut. Lautpun tercemar. Salah satu satu syariat puasa adalah “menahan”. Bagi shaimin dan shaimat, hendaklah menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker